Minggu, 05 Mei 2013

Perihal Akhlak


Pribadi yang berakhlak mulia sepertinya menjadi barang yang sangat mahal pada era ini. Akhlak Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah seperti menjadi hal yang sangat langka bahkan tidak populer di kalangan umat Islam saat ini. Bukan persoalan orang itu tidak tahu akan hal itu, mereka tahu, bahkan sangat tahu, akan tetapi mereka enggan untuk mengamalkannya untuk kemudian menjadi sebuah karakter yang tumbuh dalam jiwa. Atau memang mereka tidak tahan dengan godaan sistem hidup yang melingkupinya hingga mengorbankan akhlak mulia mereka.
Memang dengan revolusi teknologi yang ada saat ini memungkinkan semua orang tanpa pandang umur mampu untuk mengakses beragam informasi melalui perangkat search engine seperti google di internet. Termasuk ilmu pengetahuan pun sudah mulai menjadi produk digital yang sangat mengagumkan. Pengetahuan agama pun dengan mudah dapat diperoleh melalui beragam olahan yang dapat ditemui dengan sekali klik di internet, beribu-ribu informasi tentang hal yang ingin diketahui muncul dalam hitungan detik.
Namun akhlak mulia mulai terkikis di ranah praktis kehidupan. Orang dengan sangat mudah tahu beragam ilmu pengetahuan. Namun orang hanya sebatas tahu, tanpa mau untuk mengaplikasikannya pada kehidupan. Ilmu saat ini hanya menjadi sebuah hiasan bagi pemiliknya, dijadikan alat untuk nilai tawar dalam dunia kerja dan untuk maraup materi sebanyak-banyaknya. Tolak ukur seseorang berhasil dalam dunia intelektual Islam tidak lagi pada kemuliaan akhlak dan berlomba-lomba menjadi orang baik. Tetapi siapa yang bergelimang materi setelah ia menyelesaikan pendidikannya, dialah yang dianggap berhasil dan sukses.
Buntut yang terjadi adalah banyak yang memilih jalan menghalalkan segala cara demi mengejar materi yang didamba oleh semua orang dan kemudian semua orang berlomba-lomba serta berebut di arena kehidupan yang berjalan cepat. Nilai-nilai etik keagamaan pun terpental dari ranah kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya orang tidak lagi berpijak pada ajaran agama, ajaran agama menjadi sebatas pengetahuan saja tanpa pengamalan. Padahal manusia secara fitrah tidak bisa lepas dari yang namanya agama. Manusia pun sekarang mengalami krisis yang sangat akut yaitu kekosongan jiwa yang terus bergolak karena ada bagian potensi manusia yang tidak dipenuhi kebutuhannya yaitu nilai etis keagamaan.
Islam adalah agama terakhir yang dibawa oleh Rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad SAW. Sudah tidak ada lagi wahyu yang akan turun dan sudah tidak ada lagi cahaya kecuali cahaya yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Innama bu’itstu li utammima makaarimal akhlaq”, sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak lah yang dipentingkan dalam risalahnya, bukan untuk memintarkan orang, bukan untuk menjadikan orang unggul dibanding orang lain, tapi bagaimana memperbaiki akhlak masyarakat yang rusak. Hanya dengan bercermin dengan akhlak Rasulullah lah orang akan dijanjikan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Sehebat apa pun orang, sepintar apa pun orang, sampai tidak ada yang bisa menandinginya, ketika akhlaknya jatuh tersungkur di lembah kehinaan tingkah laku maka ia tidak dipandang mulia di sisi Rasulullah. Namun sehina apa pun orang di pandangan manusia, ketika mempunyai akhlak yang mulia dan mengikuti akhlak Rasulullah maka orang itu dipandang sangat mulia di sisi Rasulullah dan menjadi golongan yang berada di belakang barisan Rasulullah.
Sejarah India mencatat kisah Syekh Al-Badawini tentang prinsipnya yang kokoh terhadap nilai kejujuran. Syekh Al-Badawini dituduh terlibat dalam pemberontakan melawan Inggris pada tahun 1857 dan diajukan ke depan hakim Inggris yang ternyata adalah salah seorang muridnya. Hakim itu berpesan kepada Syekh lewat kawan-kawannya agar Syekh menolak tuduhan dan Hakim itu akan membebaskannya. Tetapi Syekh Al-Badawini menolak saran itu, katanya, “Aku telah turut serta untuk melawan kekuasaan Inggris, bagaimana mungkin aku harus berbohong?” Terpaksalah hakim menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Ketika Syekh itu maju ke tiang gantungan, hakim itu menangis dan berkata kepadanya, “Hingga saat ini pun, jika Tuan mau mengatakan sekali saja bahwa tuduhan itu palsu, dan Tuan tidak terlibat dalam pemberontakan itu, maka saya akan berusaha membebaskan Tuan.” Lalu marahlah sang Guru, katanya, “Engkau ingin aku merusak amalku dengan membohongi diriku? Sungguh rugi dan sia-sia amalkau jika begitu. Tidak, aku memang telah ikut serta dalam pemberontakan itu. Perbuatlah apa yang kalian kehendaki atas diriku.” Maka Syekh Al-Badawini pun menjalani hukuman gantung.[i]
Ketika terjadi pertikaian antara orang-orang Hindu dan orang-orang Muslim di desa Kandahla, distrik Muzaffarnagar, India, memperebutkan sebidang tanah. Orang-orang Hindu mengakuinya sebagai tempat peribadatan mereka, dan orang-orang Islam pun mengakuinya sebagai masjid mereka. Mereka membawa pertikaian itu ke muka pengadilan Inggris. Hakim mendengarkan pengaduan dan alasan-alasan kedua belah pihak, tetapi tidak dapat mengambil keputusan. Ia pun menanya orang Hindu, “Adakah di desa itu seorang Muslim yang kalian akui kejujurannya dan keterpercayaannya agar dapat aku meminta pendapatnya?” Orang-orang Hindu menjawab, “Ada, si Fulan.” Yang mereka sebut adalah seorang syekh, salah seorang ulama dan orang saleh kaum Muslimin. Hakim mengirim utusan untuk mendatangkan ke pengadilan. Ketika utusan itu datang kepadanya, ia pun berkata, “Aku telah bersumpah tidak akan melihat wajah orang Eropa. Utusan itu pun pulang memberi laporan namun hakim tetap berkeras, “Boleh saja ia berbuat begitu, tetapi ia harus datang memberikan kesaksiannya. Maka syekh itu pun hadir dalam persidangan dan dengan membalikkan punggungnya ia berkata, “Yang benar, dalam kasus ini ialah orang-orang Hindu. Tanah itu milik mereka.” Dengan kesaksian itu hakim memutuskan perkara. Orang-orang Muslim kalah dalam gugatan itu, tetapi peristiwa itu telah membekas dalam orang-orang Hindu hingga sekelompok dari mereka menyatakan masuk agama Islam.[ii]
Syekh Abdur-Rahim Ramburi dengan gaji yang amat minim yang diterimanya dari pemerintahan Islam tiap bulan tak lebih dari 10 rupee (kurang dari 1 pond Mesir). Kemudian penguasa wilayah Inggris, Mr. Hakins, datang kepadanya menawarkan suatu jabatan tinggi pada suatu fakultas di Bareili dengan gaji 250 rupee (19 pondsterling Mesir) yang pada waktu itu bernilai 50 pondsterling), dan menjanjikan tambahan gaji dalam waktu yang singkat. Syekh Ramburi menolak tawaran itu dan berkata, “Aku punya gaji tetap 10 rupee. Kalau aku pindah pada jabatan itu, gaji itu pasti dihentikan.” Orang Inggris itu terheran-heran dan berkata, “Saya tak pernah menyaksikan peristiwa hari ini : saya tawarkan gaji yang berlipat ganda dibanding gaji anda yang sekarang, tetapi anda menolaknya karena lebih senang pada gaji anda yang sedikit itu!” Lalu Syekh mengemukakan alasan bahwa di rumahnya ia menanam pohon bidara yang ia senangi buahnya, dan ia tidak akan bisa menikmati buahnya itu jika ia tinggal di Bareili. Si Inggris itu tak habis akal mendengar jawaban itu, lalu berkata, “Saya jamin buah-buahan itu akan diantarkan kepada anda di Bareili.” Syekh untuk ketiga kalinya, berkilah bahwa ia punya banyak pelajar dan mahasiswa yang harus diajarnya di kampong halamannya; jika ia berpindah pada jabatan baru itu maka pelajaran mereka akan terputus. Si Inggris itu tak mau mengalah, dan berkata, “Akan saya usahakan fasilitas agar mereka bisa melanjutkan studinya di Bareili.” Sampai di sini, Syekh Ramburi melepaskan jawabannya yang terakhir, “Bagaimana aku harus menjawab kelak jika Tuhan menanyaiku, ‘Mengapa engkau ambil upah untuk ilmu pengetahuan?’ “ Maka si Inggris pun terdiam seribu bahasa, dan tahulah dia akan kepribadian orang Muslim yang alim ini. Dan Syekh Abdur-Rahim Ramburi pun menjalani hidupnya dengan tunjangan yang kurang dari satu pondsterling yang diterimanya tiap bulan.[iii]
Mereka adalah para ulama yang harus kita teladani. Bagaimana mereka benar-benar mengamalkan apa yang mereka ketahui dari samudera pengetahuan keislaman mereka. Mereka benar-benar mengikuti akhlak Rasulullah. Dan mereka pun menjadi teladan-teladan agung di belakang barisan Rasulullah sampai hari kiamat. Islam itu indah, maka jangan merusak keindahannya dengan cara mencoreng dengan tinta hitam amal buruk kita, karena itu akan melukai hati Rasulullah yang membawa agama Islam ini.
Di pundak umat Islam terletak beban untuk melanjutkan misi Rasulullah. Namun apakah kita pantas untuk itu, padahal kita sendiri masih lebih suka mengalir seperti air di tengah-tengah derasnya tawaran nilai-nilai falsafah hidup yang menjadi trend dunia saat ini tanpa percaya diri untuk memegang Islam sebagai jalan hidup?
Menurut Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam kata pengantar buku karya Abu’l-Hasan Ali Al-Nadwi  mengatakan bahwa yang wajib kita kerjakan untuk membebaskan diri kita dan seluruh dunia dari kehidupan jahiliah yang mengepung kita dari segala penjuru, ialah mengembalikan kepercayaan terhadap agama kita sehingga menjadi dasar kehidupan kita dalam setiap aspeknya, dan tak perlu kita mengharap seseorang untuk beriman kepada agama kita sebelum kita sendiri beriman kepadanya; dan iman itu hanya akan kita peroleh jika kita bisa memberikan teladan kebajikan kepada seluruh umat manusia.[iv]
Thomas Walker Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menggambarkan sosok Shalahuddin Al-Ayyubi yang telah benar-benar menjadi teladan umat Islam sebagai berikut:
“Jelaslah bahwa kehidupan dan sifat-sifat Sultan Shalahuddin yang heroik itu telah menjadi kekuatan magnit yang menarik orang-orang Kristen pada masa itu, bahkan sejumlah kaum bangsawan Kristen menjadi terpesona olehnya sehingga rela meninggalkan agama dan bangsanya serta menggabungkan diri kepada golongan kaum Muslimin. Demikianlah yang telah terjadi ketika seorang bangsawan Inggris bernama Robert of St. Albans pada tahun 1158 M meninggalkan agama Kristen dan memeluk agama Islam, dan kemudian hari mengawini salah seorang cucu Sultan Shalahuddin.”
“Dua tahun kemudian Sultan Shalahuddin menyerang Palestina dan mengalahkan tentara Kristen pada pertempuran Hithin. Dalam pertempuran itu Gui, raja Yerusalem, tertawan. Menjelang pertempuran itu enam orang bangsawan melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Shalahuddin atas kemauan mereka sendiri.”[v]
Itulah bagaimana sebuah nilai keteladanan yang ditampilkan oleh pribadi agung Shalahuddin Al-Ayyubi. Keindahan Islam akan tampak ketika umatnya mengamalkan ajarannya yang membuat orang non Muslim terperangah dan takjub hingga menjadikannya masuk Islam. Masyarakat Islam akan benar-benar terbentuk sesuai dengan cita-cita Islam ketika individu-individunya melaksanakan ajaran Islam.
Di tengah-tengah carut marut krisis akhlak saat ini yang jauh dari teladan yang telah dicontohkan para pendahulu kita itu, seyogyanya kita banyak intropeksi diri. Dan tidak boleh sama sekali menyerah dengan situasi seperti saat ini. Seperti yang diceritakan oleh Hamka ketika suatu hari pernah berkunjung ke rumah Haji Agus Salim, saya kutipakan tulisan Hamka di bawah ini, sangat bagus untuk kita renungkan agar kita tidak berputus asa dengan keadaan yang begitu menyesakkan dada.
Pada suatu hari kami berkunjung ke rumah Haji Agus Salim. Lama kami mendengarkan fatwa-fatwa beliau yang penuh isi itu. Seorang di antara kami mengemukakan adanya krisis akhlak di zaman sekarang. Ada yang menyebut tentang kecurangan-kecurangan, tentang perebutan pengaruh di antara pemimpin-pemimpin negara, dan lain-lain.
Kami minta pendapat beliau.
Beliau menjawab, “Jika saudara menampak banyak sekali krisis akhlak, saya pun masih melihat akhlak yang tidak krisis.”
Kami menunggu lanjutan perkataan beliau. Dan setelah beliau berhenti sebentar berbicara, lalu beliau teruskan pula: “Bagaimana kita pada saat ini akan dapat berbicara leluasa dan bebas, tidak merasa takut sedikit pun menyatakan yang terasa di hati, kalau sekiranya tidak ada keamanan. Keamanan itu sekarang ada pada kita. Karena ada dan nyatanya, kita tidak ingat lagi akan adanya. Kita menjadi aman karena ada polisi yang menjaga sekeliling kota ini. Kita tidak mengenal polisi itu, karena kita tidak menghadapkan perhatian kepadanya. Berapa banyaknya kita lihat polisi berdiri di tengah jalan raya, mengatur hubungan lalu lintas, kendaraan lalu bersilang siur. Dia menaikkan tangannya menyuruh terus jalan, atau menyuruh berhenti. Dalam panas garang dia tegak, dan dalam hujan lebat pun dia tegak melakukan tugasnya di tempat yang ditentukan itu. Cobalah hitung-hitung, berapakah gajinya polisi lalu lintas itu! Sebab itu maka akhlak masih ada!”
Setelah itu beliau lanjutkan pula: “Akhlak masih baik dan utuh! Jika saudara tadi memandang adanya korupsi dan kecurangan pada kantor-kantor, saya pun melihat, masih banyak jumlahnya, lebih banyak daripada yang berbuat korupsi yaitu pegawai-pegawai yang setia, opas-opas kantor, yang bekerja dengan setia. Gajinya kecil, anaknya banyak dan mukanya masih tetap dihiasi dengan senyum tanda patuh. Mereka masuk ke dalam kantor, kadang-kadang itu ke itu juga kemeja yang dipakainya. Karena kesetiaan dan akhlak mereka yang belum rusaklah, maka administrasi pemerintahan Republik ini masih utuh dan dapat dilanjutkan.”
Banyak lagi beliau kemukakan contoh-contoh yang lain, yang beliau pandang dengan penuh perhatian dan dada terbuka. Beliau kisahkan juga sopir-sopir auto kepunyaan pembesar, yang sampai larut malam memikul tugasnya, istri-istri yang setia, anak-anak yang tekun menghafal pelajaran sampai larut malam, karena iba-kasihan akan kerugian orang tuanya. Maka fahamlah kami, bahwa beliau pada waktu itu mendidik kami memperhatikan yang baik di dalam yang buruk. Sampai beliau berkata: “Kalau sekiranya tidaklah ada orang yang ikhlas dalam perjuangan, niscaya tidaklah akan tercapai kemerdekaan negara ini.”
Dengan ini nampaklah apa tujuan beliau. Tujuan utama beliau ialah mendidik kita, bukan melihat buruk dan baiknya sesuatu yang di luar, tetapi menilik ke dalam keadaan jiwa kita, seketika kita hendak menilik sesuatu itu.
Dari mana kita menampak krisis akhlak?
Ialah dari masyarakat itu!
Apakah masyarakat itu?
Ialah gabungan pribadi-pribadi!
Adakah suatu pribadi semata-mata jahat dan pribadi yang lain semata-mata baik? Dan kita sendiri termasuk pribadi yang semata-mata baik itu?
Sekarang setelah menilik masyarakat, mau tidak mau kita menilik pribadi. Pribadi yang lebih mudah meniliknya ialah diri kita sendiri. Cobalah periksa dengan insyaf dan seksama, memangkah pribadimu itu semata-mata baik, suci, bersih, tidak bercacat sedikit juga… ?[vi]


[i] Abu’l-Hasan Ali Al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, terj. M. Ruslan Shiqqieq, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988, h. 341-342
[ii] Ibid, h. 343
[iii] Ibid, h. 344-345
[iv] Ibid, h. 25
[v] Ibid, h. 25-26
[vi] Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, h. 427-428

Jumat, 23 November 2012

POTRET KEGELISAHAN INTELEKTUAL MUSLIM


Judul: ON ISLAMIC CIVILIZATION: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam
Penulis: A.M. Saefudddin, A. Mujib El Syirazy, Adian Husaini, Adnin Armas, Din Syamsudin, Didiek Ahmad Supadie, Hidayat Nurwahid, Mulyadi Kartanegara, Syamsuddin Arif, Ugi Suharto dkk.
Spesial Abstrak: Azyumardi Azra & Hamid Fahmi Zarkasyi
Editor: Laode M. Kamaludin
Penerbit: Unissula Press bekerjasama dengan Republikata
Cetakan: Pertama, Desember 2010.
Tebal: 723 halaman

Begitu memilukan ketika ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini yang berkembang pesat malah justru membawa manusia pada kehidupan yang tidak bermakna sama sekali. Seperti yang ditulis oleh editor buku ini dengan mencontohkan seorang tokoh ateis dari Amsterdam yang bernama Ehrenfest yang tengah berada di puncak karier intelektualnya ternyata mati bunuh diri sekaligus terlebih dahulu membunuh anak istrinya. Ia bunuh diri, karena ‘merasa’ tidak puas  dengan rasio, akal, dan ilmu pengetahuan yang ‘dituhankannya’ selama bertahun-tahun. Dari rasio, akal dan ilmu pengetahuan, ia ‘merasa’ tak mendapatkan apa-apa, selain hidup yang absurd, gamang, dan penuh kecemasan. Ia ‘merasa’ harus mengakhiri hidupnya, baginya, hidup tak lagi memiliki makna. (halaman viii)
Melalui buku ini tampak sekali terlihat bahwa para intelektual Muslim yang gelisah dengan keadaan manusia modern yang serba absurd ini berusaha untuk memberikan alternatif solusi untuk kehidupan masa mendatang. Karena bagaimanapun juga sebagai seorang Muslim apalagi yang memiliki kapasitas intelektual merasa bertanggung jawab untuk ikut memberikan sumbangsih pemikiran dari krisis yang menimpa ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini yang serba tak terkendali. Penemuan nuklir misalnya yang seharusnya diperuntukkan untuk tujuan kemakmuran umat manusia malah justru mengantarkan pada kekhawatiran musnahnya umat manusia dari muka bumi ini kalau terjadi perang nuklir.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan para intelektual Muslim yang diundang untuk berceramah dalam seminar-seminar yang diadakan di Unissula Semarang. Unissula sebagai salah satu Universitas Islam swasta di Indonesia dalam segi keilmuan memang sudah berkomitmen dan akan terus mengembangkan keilmuannya yang berbasis nilai-nilai Islam. Dan melalui buku inilah tampaknya Unissula ingin memperlihatkan keseriusannya.
Ketika membaca buku ini serasa sekali nuansa peradaban Islam yang ingin diusungnya. Peradaban Islam bukan saja dipandang sebagai alternatif solusi epistemologi Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini yang sedang mengalami krisis nilai, tetapi lebih dari itu memberi sebuah gambaran bagaimana Islam mengkonstruk dirinya dalam membangun peradaban manusia yang lebih bermartabat dan mementingkan kepentingan kemanusiaan.
Seperti Ugi Suharto menulis bahwa Islam itu agama sekaligus peradaban. Islam sebagai peradaban ditunjukkan olehnya dengan mengajukan bukti sejarah bahwa ketika Rasulullah wafat, hakikat dan sifat Islam telah benar-benar dimengerti oleh para sahabat. Masyarakat madani yang telah dibangun kini bersedia untuk dikembangkan menjadi sebuah tamaddun dan peradaban dunia. Apabila Islam kemudian memimpin kehidupan dunia selama seribu tahun lebih dengan berbagai pemerintahannya dari mulai Khalifah Rasyidah, Umayyah, Andalusia, Abbasiah, hinggalah Utsmaniah, tamaddun Islam telah mencorakkan dunia Timur dan Barat dengan kehidupan yang lebih seimbang antara sisi keruhanian dan sisi kebendaan dan materi. (halaman 90)
Selanjutnya Islam dalam membangun peradabannya tidak bisa lepas dari perangkat world view Islam yang harus dikuasai oleh seorang Muslim. Karena umat Islam harus sadar bahwa hidup dan kehidupannya sekarang tidak lepas dari arus globalisasi dan dominasi peradaban Barat yang juga memiliki world view sendiri yang berbeda dengan Islam. Hamid Fahmy Zarkasyi menilai bahwa world view Islam dimaksudkan akan menjadi framework pemikiran yang mempunyai peran epistemologis dalam mekanisme penerimaan atau penolakan konsep-konsep asing yang bersentuhan dengan pemikiran Islam. Artinya pada dataran praktis dalam konteks perang pemikiran dewasa ini, pandangan hidup Islam yang telah menjadi framework pemikiran seorang Muslim dapat menjadi filter – “ruang menguji” – apakah suatu pemikiran itu berasal dari tradisi Islam atau berasal dari tradisi asing; dan apakah konsep-konsep yang berasal dari pandangan hidup asing itu dapat diadaptasi ke dalam pandangan hidup Islam atau tidak. (halaman 135)
Kemudian persoalan yang masih menggejala di dunia ilmu pengetahuan sampai saat ini adalah adanya kenyataan masih adanya dikotomi ilmu dalam pengetahuan. Mulyadi Kartanegara beralasan bahwa salah satu gambaran yang masih menunjukkan masih berlangsungnya dikotomi tersebut adalah, sampai saat ini, masih banyak dalam masyarakat kita yang memilah-milah perlakuan mereka atas guru-guru mereka. Guru-guru agama mereka sanjung sedemikian rupa lantaran bersinggungan dengan nilai-nilai agama dan mereka anggap memiliki keberkahan, tidak sedikit guru agama yang dicium tangannya, sementara guru-guru pelajaran lain, guru non agama, perlakuan semacam itu tidak terjadi. Masih ada anggapan bahwa guru yang mengajar fisika, matematika, biologi, dan lain-lain, tidak ada kaitannya dengan persoalan keagamaan karenanya tidak dianggap memiliki berkah. Tentu saja masalah perlu dikaji ulang, apakah memang demikian cara pandang Islam? (halaman 241-242)
Persoalan itu dijawab oleh Mulyadi Kartanegara dengan adanya integrasi ilmu. Sehingga tidak lagi dibedakan antara ilmu agama atau ilmu non agama. Di akhir tulisannya ia menyimpulkan bahwa di dalam Islam telah terintegrasi: Pertama, objek ilmu. Objek ilmu tidak hanya fisik, tetapi juga non fisik. Kedua, sumber ilmu. Sumber ilmu tidak hanya indera, tetapi juga indera, akal, hati dan wahyu, pengalaman juga begitu tidak hanya pengalaman indera yang diakui, tetapi pengalaman intelektual, dan juga pengalaman intuisi atau pengalaman yang disebut religious experience. Ketiga, integrasi klasifikasi ilmu. Ilmu tidak hanya digolongkan satu yaitu natural science, tetapi juga ada mathematical science, dan juga metafisichal science. (halaman 261)
Di samping itu persoalan yang juga teramat penting dalam menjawab tantangan zaman dewasa ini adalah terkikisnya keimanan umat Islam oleh sebab gempuran peradaban Barat yang sekular. Padahal aspek keimanan seorang Muslim adalah persoalan yang paling fundamental. Untuk menjawab persoalan ini adalah dengan membangun generasi Khaira Ummah melalui kampus. M. Rofiq Anwar dalam tulisannya menjelaskan bahwa generasi tersebutlah yang berpotensi memimpin dunia dengan kerahmatan. Ia merujuk bahwa di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa generasi khaira ummah sanggup membuat dunia baru yang penuh ketentraman, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian. Sanggup juga menghapuskan kemaksiatan, kebobrokan, ketidakadilan, kebodohan, penindasan, dan sebagainya. Ciri-ciri khaira ummah adalah mereka selalu mengajak kepada iman. Mereka senantiasa mengembalikan manusia kepada iman. (halaman 654)
            Dan masih ada lagi pembahasan menarik lainnya yang tidak mungkin disebutkan dalam tulisan ini. Ikhtiar menyalakan kembali lentera peradaban Islam yang sempat padam memang pantas untuk disematkan pada buku ini. Pembahasan demi pembahasan begitu mendalam, menggugah sekaligus menginspirasi dan sayang untuk dilewatkan. Namun ada catatan sedikit kritik atas buku ini, karena buku ini merupakan kumpulan makalah-makalah seminar terkadang dari cara penulisannya ada beberapa yang kelewat sederhana penyajiannya sehingga bagi pembaca yang jeli akan mendapatkan kesan kurang ilmiah. Lepas dari kekurangan yang ada, buku ini tetap saja sangat pantas untuk dijadikan referensi dalam pemikiran keislaman yang mulai menggeliat eksistensinya dan menjadi jawaban atas permasalahan-permasalahan keislaman yang mungkin dialami oleh Anda selama ini. (Ibnu Mufti)